Perilaku Politik di Tempat Kerja

Politik di tempat kerja? Apakah artinya ada kegiatan partai politik? Bukan itu yang dimaksud. Bukan bicara urusan sistem pemerintahan dan kenegaraan yang ada pengaruhnya terhadap perusahaan. Dan juga bukan bicara sistem kekuasaan parlemen. Politik disini (tempat kerja) lebih pada bagaimana kekuasaan bisa diraih oleh individu tertentu lewat penanaman pengaruh di kalangan kolega atau karyawan. Kekuasaan dimaksud seperti dalam hal memiliki dan mempertahankan posisi tertentu, mengatur suatu kebijakan normatif dan operasional, dan kekuasaan untuk melakukan hubungan vertikal dengan bos. Biasanya kekuasaan dikejar untuk memperoleh legitimasi kepemimpinan formal. Bawahan dikondisikan untuk menghormatinya. Namun tanpa disadari oleh sang “politikus”, setiap orang sebenarnya hanya menghormati dia karena jabatan bukan karena integritas kepribadian kepemimpinan yang tinggi.
Mereka yang terlibat dalam kancah ”politik” tersebut sering dikelompokkan sebagai orang yang dalam bekerjanya mengandalkan pada kekuatan kekuasaan (politik). Namun ketika kekuasaannya bisa diraih maka belum tentu mau berhubungan dengan para pendukungnya. Dengan kata lain lupa dan melupakan. Orang seperti ini bersifat plin-plan, oportunis, mengerjakan sesuatu yang menguntungkan dirinya, dan kurang mempertimbangkan kepentingan lingkungan kerja, teman-teman sejawat, karyawan, dan juga perusahaan. Lalu apa bedanya dengan orang yang bukan ”politikus” yakni yang lebih tekun pada proses produksi?
Menurut John C.Maxwell (The 360 degree Leader; 2005), orang-orang yang mengandalkan pada pertumbuhan produksi dicirikan oleh kebergantungan pada bagaimana mereka berkembang; fokus pada apa yang mereka kerjakan; senang menjadi karyawan yang berkinerja dengan lebih baik ketimbang pada tampilan; mengerjakan hal-hal yang pokok; bekerja untuk pengabdian; berkembang secara bertahap; dan keputusan berbasis prinsip-prinsip tertentu. Sementara, mereka yang tergolong orang-orang ”politikus” dicirikan oleh; kebergantungan pada siapa yang mereka tahu tentang dirinya; fokus pada apa yang mereka katakan; tampilan dinilai lebih hebat ketimbang kinerja; mengerjakan sesuatu untuk meraih popularitas; berharap untuk diberikan posisi yang lebih tinggi secara instan walau di luar kompetensinya; dan keputusan yang diambil berbasis pada opini.
Dalam prakteknya ada orang-orang tertentu yang begitu bergantung pada sang atasan. Biasanya mereka tergolong pada posisi lingkaran dalam. Semacam klik orang-orang dekat dengan atasan. Setiap individu dalam lingkungan ini cenderung berkarakter penjilat. Bahkan siap untuk membela mati-matian kebijakan sang atasan. Kalau perlu jadi ”tukang pukul”. Tentunya karena sifatnya yang oportunis, mereka berharap mendapat imbalan posisi tertentu. Kalau dipenuhi atasan mereka tentunya semakin gembira dan bersifat angkuh. Tetapi dalam prakteknya bisa jadi muncul fenomena yang berlawanan. Mereka akan dendam kesumat ketika mereka tidak mendapat posisi yang dikehendaki. Padahal selama itu mereka sudah berupaya selalu dekat dengan atasan. Nah, ketika itulah yang dilakukan sebagian dari mereka yang bernasib ”runyam” akan menjelek-jelekan atasan mereka. Bertebaranlah gosip kemana-mana untuk menunjukan kejengkelan pada sang bos. Lalu apa yang perlu dilakukan agar lingkungan kerja yang nyaman tidak terganggu?
Politik di perusahaan tidak mungkin dihilangkan. Sejauh tiap manusia memiliki ambisi pada kekuasaan maka disitu nempel sifat untuk mencari dukungan pengaruh. Karena itu yang bisa dilakukan adalah meminimumkan pengaruh politik terhadap lingkungan kerja. Pemimpin perusahaan, dalam hal ini manajemen puncak harus terus melakukan sosialisasi dan internalisasi tentang budaya korporat dimana didalamnya antara lain ada sistim nilai kerjasama, integritas kepribadian, efisiensi, kegigihan, akuntabilitas, dan keterbukaan.
Dalam kasus tersebut di atas, memang terjadi karena adanya kekuasaan legitimasi. Yang muncul karena adanya struktur organisasi. Dimana bawahan di kondisikan untuk menghormati atasannya. Namun sebenarnya kehormatan yang dilakukan tersebut semata- mata hanya karena jabatan bukan karena integritas kepribadian kepemimpinan yang tinggi. Para bawahan sering membela atasannya hanya karena ingin mengambil hati atasan. Dengan harapan, mereka dapat meningkatkan status posisi mereka dalam perusahaan. Namun, jika semua itu tidak ada balasannya, para bawahan akan menjelek- jelekan atasannya. Persoalan itu sudah biasa di dalam kantor. Karena dalam suatu organisasi tidak mungkin lepas dengan adanya konflik.
Kepemimpinan Kharismatik
Karisma merupakan sebuah atribusi yang berasal dari proses interaktif antara pemimpin dan para pengikut. Atribut-atribut karisma antara lain rasa percaya diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang, kemampuan berbicara dan yang lebih penting adalah bahwa atribut-atribut dan visi pemimpin tersebut relevan dengan kebutuhan para pengikut.
Teori kepemimpinan karismatik dari House menekankan kepada identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh pemimpin dan pengaruh pemimpin terhadap tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para pengikut. Teori atribusi tentang karisma lebih menekankan kepada identifikasi pribadi sebagai proses utama mempengaruhi dan internalisasi sebagai proses sekunder. Teori konsep diri sendiri menekankan internalisasi nilai, identifikasi sosial dan pengaruh pimpinan terhadap kemampuan diri dengan hanya memberi peran yang sedikit terhadap identifikasi pribadi. Sementara itu, teori penularan sosial menjelaskan bahwa perilaku para pengikut dipengaruhi oleh pemimpin tersebut mungkin melalui identifikasi pribadi dan para pengikut lainnya dipengaruhi melalui proses penularan sosial. Pada sisi lain, penjelasan psikoanalitis tentang karisma memberikan kejelasan kepada kita bahwa pengaruh dari pemimpin berasal dari identifikasi pribadi dengan pemimpin tersebut.
Karisma merupakan sebuah fenomena. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan oleh seorang pemimpin karismatik untuk merutinisasi karisma walaupun sukar untuk dilaksanakan. Kepemimpinan karismatik memiliki dampak positif maupun negatif terhadap para pengikut dan organisasi.
Contoh tokoh yang memiliki kepemimpinan kharismatik adalah Bung Karno
Gaya Kepemimpinan Transformasional (Transformational leadership)
________________________________________
Pencapaian tujuan perusahaan dan tujuan karyawan secara sekaligus merupakan tugas yang tidak mudah. Hal ini sangat perlu diperhatikan, karena efektivitas dari seorang pemimpin diukur dari kinerja dan pertumbuhan organisasi yang dipimpinnya serta kepuasan pengikut terhadap pemimpinannya. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus dapat mempengaruhi pengikutnya untuk menerima permintaannya tanpa menggunakan paksaan sehingga bawahan secara sukarela akan berperilaku dan berkinerja sesuai tuntutan organisasi melalui arahan pemimpinnya.

Untuk dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja pengikutnya, diperlukan suatu gaya atau perilaku kepemimpinan tertentu. Dimana gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang pemimpin di perusahaan yang satu dengan yang lain tidak ada persamaan, jika ada persamaan barangkali dari sisi yang satu saja, sedangkan sisi yang lain terdapat perbedaan-perbedaan.

Leadership atau kepemimpinan merupakan proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok. Menurut Hersey dan Blanchard, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Kepemimpinan adalah gaya seorang pemimpin mempengaruhi bawahannya, agar mau bekerjasama dan bekerja efektif sesuai dengan perintahnya.

Gaya kepemimpinan inilah yang menyebakan seseorang dipilih sebagai pemimpin atau manajer, sebab hal ini sangat berhubungan erat dengan tujuan perusahaan yang dicapai, jenis-jenis kegiatan yang harus dipimpin, karakteristik para tenaga kerja, motif, usaha dan lain-lain. Menurut Stoner istilah gaya kepemimpinan atau style leadership adalah : berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses ikut mengarahkannya.

Salah satu teori agen perubahan yang paling komperehensif adalah teori kepemimpinan transformasional yang dikembangkan pertama kali oleh James MacGregor Burns dalam konteks politik. Teori selanjutnya disempurnakan dan diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass.

Pada dasarnya teori kepemimpinan transformasional menekankan pentingnya seorang pemimpin menciptakan visi dan lingkungan yang memotivasi para bawahan untuk berprestasi melampaui harapan. Dalam hal ini, para bawahan merasa percaya, kagum, loyal, dan hormat kepada pemimpinnya, sehingga mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari apa yang di harapkan mereka. Bahkan tidak jarang melampaui apa yang mereka perkirakan dapat mereka lakukan. Model kepemimpinan yang ini didasarkan lebih pada upaya pemimpin untuk mengubah berbagai nilai, keyakinan, dan kebutuhan bawahan.